Sebuah Permadani Strategi
Untuk memahami kedalaman dan keragaman perjuangan para pahlawan wanita Indonesia, narasi individual perlu disintesis ke dalam sebuah kerangka analisis yang komparatif. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk melihat pola, mengidentifikasi faktor-faktor penentu, dan pada akhirnya, mengapresiasi kecerdasan strategis mereka sebagai aktor-aktor politik yang ulung.
Kerangka Perbandingan: Peluang, Organisasi, dan Pembingkaian
Dengan mengadopsi kerangka analisis dari studi gerakan sosial, perjuangan para pahlawan ini dapat dianalisis melalui tiga elemen kunci :
- Peluang Politik (Political Opportunity): Ini merujuk pada faktor-faktor eksternal yang membuka atau menutup ruang bagi aksi kolektif. Bagi para pejuang bersenjata seperti Cut Nyak Dien, kekacauan perang dan runtuhnya struktur kepemimpinan tradisional menciptakan peluang bagi perempuan untuk mengambil alih komando. Bagi para pendidik seperti Kartini dan Dewi Sartika, Kebijakan Etis Belanda, meskipun terbatas, memberikan celah legitimasi untuk mendirikan sekolah. Bagi Marsinah, transisi ekonomi Orde Baru yang menciptakan kelas pekerja industrial menciptakan kondisi untuk mobilisasi buruh.
- Struktur Mobilisasi (Mobilizing Structures): Ini adalah kendaraan organisasional yang digunakan untuk melancarkan perjuangan. Bentuknya sangat beragam, mulai dari pasukan gerilya yang terorganisir secara informal di hutan Aceh, sekolah formal yang dilembagakan seperti Sakola Kautamaan Istri, partai politik modern dan media massa yang digunakan oleh Rasuna Said dan S.K. Trimurti, hingga serikat buruh di pabrik tempat Marsinah bekerja.
- Proses Pembingkaian (Framing Processes): Ini adalah cara para pahlawan mengartikulasikan keluhan dan tujuan mereka untuk memobilisasi dukungan. Cut Nyak Dien membingkai perjuangannya sebagai perang fi’sabilillah (perang suci), sebuah bingkai yang sangat resonan dalam masyarakat Aceh yang religius. Kartini dan Dewi Sartika membingkai pendidikan sebagai jalan menuju “kemajuan” dan “peradaban”, sejalan dengan wacana modernitas Eropa. Marsinah dan kawan-kawannya membingkai perjuangan mereka dalam terminologi hak-hak dasar dan keadilan ekonomi.
Pengaruh Konteks Regional dan Budaya
Strategi yang dipilih tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan sangat dipengaruhi oleh konteks budaya regional yang unik:
- Aceh: Dengan identitas Islam yang kuat dan sejarah panjang perlawanan terhadap kekuatan luar, budaya Aceh menyediakan kerangka ideologis yang kuat untuk perang sabil. Dalam konteks perang total yang mengancam eksistensi komunitas, partisipasi perempuan dalam pertempuran menjadi sesuatu yang dapat diterima dan bahkan dimuliakan.
- Jawa: Budaya istana priyayi yang menekankan kehalusan (alus), harmoni, dan penghindaran konflik langsung, membentuk corak perjuangan yang lebih berfokus pada intelektualisme dan pendidikan. Perlawanan dilakukan bukan melalui konfrontasi fisik, melainkan melalui pena dan pendirian lembaga pendidikan yang secara bertahap mengubah pola pikir masyarakat.
- Minangkabau: Struktur sosial matrilineal, di mana perempuan memegang peran penting dalam urusan adat dan kepemilikan harta pusaka, menciptakan lingkungan yang subur bagi munculnya figur perempuan yang kuat di ruang publik. Konteks ini memungkinkan seorang H.R. Rasuna Said untuk berkembang menjadi orator politik yang disegani, sebuah peran yang mungkin lebih sulit dicapai dalam masyarakat yang lebih patriarkal.
Analisis komparatif ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun cara “feminin” yang tunggal dalam melakukan perlawanan. Strategi yang digunakan oleh para pahlawan wanita ini adalah hasil adaptasi yang rasional dan canggih terhadap sumber daya, batasan, dan peluang yang tersedia dalam konteks politik, sosial, dan budaya mereka masing-masing. Hal ini membantah interpretasi esensialis mana pun dan justru menyoroti agensi mereka sebagai aktor politik yang cerdas dan strategis.
Matriks Perbandingan Pahlawan Wanita Indonesia
Pahlawan | Era Perjuangan | Wilayah | Strategi Utama | Pencapaian Kunci | Lawan Utama | Status Pahlawan Nasional (Tahun) |
Cut Nyak Dien | 1873-1905 | Aceh | Perang Gerilya | Memimpin perlawanan selama 25 tahun setelah kematian Teuku Umar | Kolonial Belanda | 1964 |
Martha C. Tiahahu | 1817 | Maluku | Perjuangan Bersenjata | Terlibat dalam Perang Pattimura pada usia 17 tahun | Kolonial Belanda | 1969 |
Nyi Ageng Serang | 1825-1830 | Jawa | Strategi Militer | Menjadi komandan & penasihat dalam Perang Diponegoro | Kolonial Belanda | 1974 |
Ratu Zaleha | 1880-1906 | Kalimantan | Perang Gerilya | Melanjutkan Perang Banjar setelah kematian Sultan Muhammad Seman | Kolonial Belanda | – |
R.A. Kartini | 1899-1904 | Jawa | Intelektual (Surat) | Mempelopori gagasan emansipasi melalui tulisan | Patriarki & Kolonialisme | 1964 |
Dewi Sartika | 1904-1947 | Jawa Barat | Pendidikan | Mendirikan Sakola Istri, sekolah perempuan pertama di Hindia Belanda | Keterbatasan Akses Pendidikan | 1966 |
Maria W. Maramis | 1917-1924 | Sulawesi Utara | Pendidikan & Politik | Mendirikan PIKAT, memperjuangkan hak pilih perempuan | Keterbatasan Akses Pendidikan & Politik | 1969 |
H.R. Rasuna Said | 1926-1965 | Sumatera Barat | Orasi & Jurnalisme | Orator anti-kolonial, perempuan pertama yang dihukum speek delict | Kolonial Belanda | 1974 |
S.K. Trimurti | 1933-1948 | Jawa | Jurnalisme & Politik | Jurnalis anti-kolonial, Menteri Perburuhan perempuan pertama | Kolonial Belanda, Jepang | – |
Fatmawati | 1943-1945 | Bengkulu/Jakarta | Aksi Simbolis | Menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih | – | 2000 |
Marsinah | 1993 | Jawa Timur | Aktivisme Buruh | Memimpin unjuk rasa menuntut hak-hak buruh | Aparat Negara Orde Baru | – |