Perjuangan Keadilan yang Belum Usai
Proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 tidak serta-merta mengakhiri segala bentuk penindasan. Perjuangan untuk meraih kemerdekaan sejati—yang mencakup keadilan sosial, hak asasi manusia, dan kesejahteraan ekonomi—terus berlanjut. Kisah Marsinah menjadi jembatan tragis antara perjuangan melawan kolonialisme di masa lalu dan perlawanan terhadap opresi negara di era pascakolonial.
Marsinah: Aktivis Buruh Orde Baru
Marsinah adalah seorang buruh perempuan di pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) di Sidoarjo, Jawa Timur. Ia hidup dan berjuang di bawah rezim Orde Baru yang sangat represif, di mana hak-hak buruh dan kebebasan berserikat diberangus secara sistematis demi stabilitas dan pembangunan ekonomi yang semu.
Pada Mei 1993, Marsinah tampil sebagai salah satu pemimpin vokal dalam aksi mogok kerja yang menuntut 12 hak dasar buruh. Tuntutan utama mereka adalah implementasi upah minimum regional yang telah ditetapkan pemerintah, dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari, beserta hak-hak normatif lainnya seperti tunjangan dan jaminan sosial. Aksi damai ini direspons dengan intervensi militer, sebuah praktik umum pada masa itu. Tiga belas rekan aktivisnya dijemput dan dibawa ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo, di mana mereka diintimidasi dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. Marsinah, yang turut dalam tim perundingan, mendatangi Kodim untuk menanyakan nasib kawan-kawannya. Setelah kunjungannya itu, pada 5 Mei 1993, ia menghilang tanpa jejak.
Tiga hari kemudian, jasadnya ditemukan di sebuah gubuk di hutan Nganjuk. Kondisinya sangat mengenaskan, menunjukkan tanda-tanda penyiksaan brutal dan kekerasan seksual. Pembunuhan keji Marsinah menjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang mengguncang Indonesia dan dunia internasional. Kematiannya mengubah Marsinah dari seorang buruh biasa menjadi martir dan simbol abadi perjuangan melawan ketidakadilan, penindasan negara, dan kekerasan terhadap perempuan. Atas keberaniannya, ia secara anumerta dianugerahi Penghargaan Hak Asasi Manusia Yap Thiam Hien.
Kisah Marsinah secara gamblang menunjukkan keberlanjutan perjuangan kepahlawanan dalam konteks pascakolonial, di mana aparatur negara yang opresif menggantikan posisi penjajah asing. Jika dibandingkan, metode yang digunakan—intimidasi, penangkapan tanpa proses hukum, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum—memiliki kemiripan yang mengerikan dengan praktik-praktik era kolonial. Perjuangan Marsinah untuk keadilan ekonomi bukanlah sebuah “isu buruh” yang terpisah, melainkan kelanjutan langsung dari semangat anti-penindasan yang diusung oleh para pahlawan pendahulunya. Dengan demikian, ceritanya memperumit narasi sederhana tentang Indonesia yang “telah merdeka” dan menempatkannya sebagai seorang pahlawan yang gugur melawan bentuk penjajahan internal, di mana negara menindas warganya sendiri demi kepentingan modal dan kontrol politik.