Kekuatan Pena dan Podium

Memasuki abad ke-20, arena perjuangan kemerdekaan meluas ke ruang-ruang modern seperti media massa dan organisasi politik. Di panggung baru ini, muncul generasi pahlawan wanita yang menjadikan kata-kata sebagai senjata utama mereka. Melalui tulisan yang tajam dan orasi yang membakar, mereka menantang kekuasaan kolonial secara langsung di ranah publik.

H.R. Rasuna Said: Singa Podium dari Ranah Minang

Hajjah Rangkayo Rasuna Said adalah representasi kekuatan perempuan dalam politik dan orasi. Berasal dari keluarga bangsawan Minangkabau, sebuah masyarakat yang menganut sistem matrilineal, ia tumbuh dalam konteks budaya yang memberinya ruang lebih besar untuk tampil di muka umum. Bakatnya sebagai orator ulung membuatnya dijuluki “Singa Podium” karena pidato-pidatonya yang berapi-api dalam mengkritik pemerintah kolonial Belanda.

Rasuna Said aktif dalam berbagai organisasi pergerakan, termasuk Sarekat Rakyat dan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI), di mana ia menyuarakan pentingnya kemerdekaan dan hak-hak perempuan. Ketajaman kritiknya membuatnya menjadi target pemerintah kolonial. Pada tahun 1932, ia ditangkap dan dipenjara karena pidatonya yang dianggap menghasut. Peristiwa ini menjadikannya perempuan Indonesia pertama yang dihukum berdasarkan speek delict, sebuah pasal hukum kolonial yang melarang siapa pun berbicara menentang pemerintah. Penjara tidak membungkamnya. Setelah bebas, ia melanjutkan perjuangannya melalui jurnalistik, memimpin majalah Raya dan kemudian mendirikan majalah Menara Poeteri di Medan, yang secara khusus membahas isu-isu perempuan dan menyebarkan gagasan anti-kolonialisme.

S.K. Trimurti: Jurnalis Revolusioner dan Menteri Pertama

Surastri Karma Trimurti, atau lebih dikenal sebagai S.K. Trimurti, adalah sosok pejuang yang bergerak lincah antara dunia pendidikan, jurnalistik, dan politik. Awalnya seorang guru, ia menjadi radikal setelah terinspirasi oleh ajaran-ajaran Soekarno dan bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo) pada tahun 1933. Karena pengaruh nasionalisnya dianggap berbahaya bagi murid-muridnya, pemerintah kolonial melarangnya mengajar.

Atas dorongan Soekarno, Trimurti kemudian mendedikasikan dirinya pada dunia jurnalistik. Tulisannya yang tajam dan berani di berbagai media, seperti Fikiran Ra’jat dan majalah yang ia dirikan sendiri, Pesat, sering kali menyerang kebijakan kolonial. Akibat aktivitasnya ini, ia berulang kali keluar-masuk penjara, baik pada masa pemerintahan Belanda maupun pendudukan Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, perjuangannya tidak berhenti. Ia menjadi salah satu pemimpin Partai Buruh Indonesia dan menorehkan sejarah dengan diangkat sebagai menteri perempuan pertama di Indonesia, menjabat sebagai Menteri Perburuhan pada kabinet Amir Sjarifuddin dari tahun 1947 hingga 1948.

Kisah Rasuna Said dan S.K. Trimurti menandai lahirnya tipe aktivis perempuan baru yang secara mahir mengadopsi dan “mempersenjatai” perangkat modernitas—mesin cetak, partai politik, dan rapat umum—untuk melancarkan perjuangan mereka. Medan perang mereka adalah opini publik. Alih-alih menolak instrumen-instrumen yang diperkenalkan oleh era kolonial, mereka justru merebutnya dan menggunakannya untuk melawan sang penjajah. Mereka berjuang untuk menguasai narasi dan wacana politik bangsa. Fakta bahwa mereka berulang kali dipenjara karena “tindak pidana tutur kata” menegaskan bahwa pemerintah kolonial memandang kata-kata mereka sebagai ancaman yang nyata dan berbahaya.