Menempa Perlawanan Melalui Perjuangan Bersenjata

 

Di tengah gejolak perang melawan kolonialisme, sejumlah perempuan Indonesia tampil mendobrak batasan gender tradisional dengan terjun langsung ke medan pertempuran. Mereka tidak hanya menjadi pendukung, tetapi juga komandan dan pejuang di garis depan, memimpin perlawanan bersenjata yang menantang kekuatan militer Eropa sekaligus norma sosial yang membelenggu mereka.

Cut Nyak Dien: Singa Betina Perang Aceh yang Pantang Menyerah

Lahir dari keluarga bangsawan (uleebalang) yang taat beragama di Aceh Besar pada tahun 1848, kehidupan awal Cut Nyak Dien dibentuk oleh tradisi dan ajaran Islam. Titik balik hidupnya terjadi ketika agresi Belanda meluluhlantakkan tanah kelahirannya, terutama pembakaran Masjid Raya Baiturrahman yang menjadi simbol perlawanan dan harga diri rakyat Aceh. Peristiwa ini menjadi pemicu yang mengubahnya dari seorang istri bangsawan menjadi pejuang yang gigih.

Kematian suami pertamanya, Ibrahim Lamnga, dalam pertempuran pada tahun 1878, tidak mematahkan semangatnya, melainkan justru menyulut api dendam dan sumpah untuk mengusir penjajah. Ia kemudian menikah dengan Teuku Umar, seorang pejuang karismatik, dengan syarat diizinkan untuk ikut berperang. Namun, tragedi kembali menimpanya ketika Teuku Umar gugur pada tahun 1899. Momen ini tidak membuatnya surut; sebaliknya, ia mengambil alih komando penuh atas sisa pasukan suaminya. Selama hampir 25 tahun setelah kematian Umar, Cut Nyak Dien memimpin perang gerilya dari pedalaman hutan Aceh. Ia memimpin pasukannya dalam kondisi yang sangat sulit, menderita berbagai penyakit termasuk rabun dan encok, namun tetap menjadi simbol perlawanan yang tak kunjung padam. Perjuangannya yang dibingkai sebagai

perang fi’sabilillah (perang di jalan Allah) memberinya legitimasi spiritual yang kuat di mata para pengikutnya. Perlawanannya berakhir pada tahun 1905 ketika salah satu anak buahnya, Pang Laot, berkhianat karena tidak tega melihat kondisi kesehatannya yang terus memburuk. Ia ditangkap, diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, dan wafat di sana pada 6 November 1908. Atas kegigihannya, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1964.

Martha Christina Tiahahu: Pemberontak Belia dari Maluku

Martha Christina Tiahahu adalah simbol dari semangat revolusioner kaum muda. Lahir pada 4 Januari 1800, ia terjun ke medan perang pada usia yang sangat belia, 17 tahun, untuk bergabung dengan ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu, dalam Perang Pattimura melawan Belanda pada tahun 1817. Keberaniannya yang luar biasa membuatnya disegani, baik oleh kawan maupun lawan.

Ia bukanlah sekadar pengikut, melainkan kombatan aktif di garis depan. Ia tercatat berperan penting dalam pertempuran-pertempuran kunci, termasuk penyerbuan Benteng Duurstede di Saparua. Sebuah kisah yang melegenda menyebutkan bahwa ketika pasukannya kehabisan amunisi, ia dengan gagah berani menggunakan batu sebagai senjata untuk melawan tentara Belanda, sebuah cerminan dari kegigihan dan kecerdikannya di tengah pertempuran. Sikapnya yang pantang menyerah terlihat jelas hingga akhir hayatnya. Setelah ditangkap pertama kali, ia dibebaskan karena usianya yang masih muda, namun ia tidak gentar dan segera kembali bergabung dengan para pejuang. Ketika tertangkap untuk kedua kalinya, ia dijatuhi hukuman kerja paksa di perkebunan kopi di Jawa. Dalam perjalanan di atas kapal, ia jatuh sakit namun menolak semua makanan dan pengobatan dari Belanda. Ia memilih kematian sebagai bentuk perlawanan terakhir daripada hidup dalam penindasan. Martha Christina Tiahahu wafat di Laut Banda pada 2 Januari 1818 dan jasadnya dilarung ke laut.

Nyi Ageng Serang & Ratu Zaleha: Kepemimpinan Strategis dalam Perang Dinasti

Perjuangan bersenjata juga dipimpin oleh perempuan dari kalangan bangsawan di Jawa dan Kalimantan, yang tidak hanya memimpin pasukan tetapi juga berperan sebagai ahli strategi dan simbol pemersatu.

Nyi Ageng Serang, seorang bangsawan keturunan Sunan Kalijaga, adalah komandan militer dan ahli siasat ulung selama Perang Diponegoro (1825-1830). Meskipun usianya sudah lanjut, semangat juangnya tidak pernah padam. Ia bahkan harus ditandu ke medan perang, di mana ia berperan sebagai

pini sepuh (sesepuh yang dihormati) dan penasihat perang utama bagi Pangeran Diponegoro. Kehadirannya menunjukkan betapa besar wibawa dan rasa hormat yang ia miliki di kalangan para pejuang. Warisannya diabadikan melalui gelar Pahlawan Nasional dan sebuah monumen megah di Kulon Progo, Yogyakarta.

Di Kalimantan, Ratu Zaleha melanjutkan estafet perjuangan Perang Banjar. Sebagai cucu dari Pangeran Antasari dan putri dari Sultan Muhammad Seman, ia mewarisi kepemimpinan perlawanan setelah ayahnya gugur pada tahun 1905. Ia memimpin perang gerilya melawan Belanda bersama para pejuang perempuan Suku Dayak lainnya, menjadi simbol perlawanan yang gigih di tanah Borneo. Namanya kini diabadikan sebagai nama rumah sakit umum daerah di Kalimantan Selatan, sebuah pengakuan atas peran sentralnya dalam sejarah lokal.

Pola yang muncul dari kisah-kisah para ksatria perempuan ini menunjukkan bahwa jalan mereka menuju kepemimpinan militer sering kali dibuka oleh krisis dan tragedi pribadi. Kematian pemimpin laki-laki—baik suami, ayah, maupun sultan—menciptakan kekosongan kekuasaan dan moral. Dalam situasi genting seperti inilah, norma-norma patriarki yang biasanya membatasi peran perempuan dapat dilampaui. Rasa hormat yang telah ada sebelumnya, yang lahir dari garis keturunan atau bukti pengabdian, dikombinasikan dengan kebutuhan mendesak akan figur pemimpin yang mampu menyatukan, memungkinkan perempuan-perempuan luar biasa ini untuk mengambil alih komando. Perjuangan mereka, dengan demikian, bukan hanya melawan penjajah, tetapi juga merupakan sebuah negosiasi ulang atas peran gender dalam masyarakat mereka sendiri, yang lahir dari sebuah keniscayaan sejarah. Dominasi pahlawan perempuan bersenjata dari wilayah seperti Aceh dan Maluku juga bukanlah suatu kebetulan; hal ini berakar kuat pada sifat konflik kolonial di daerah tersebut yang berlangsung lama, brutal, dan sering kali dibingkai sebagai ancaman eksistensial terhadap agama dan budaya, sehingga mendorong mobilisasi seluruh lapisan masyarakat, termasuk perempuan.