Menggunakan Pengetahuan sebagai Senjata
Seiring dengan perlawanan fisik di medan perang, muncul bentuk perjuangan lain yang tak kalah fundamental: perlawanan melalui pendidikan. Para pahlawan wanita di ranah ini menyadari bahwa penjajahan tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga mental. Mereka mengidentifikasi pendidikan sebagai senjata utama untuk membongkar “kolonialisme pikiran” dan melawan penindasan patriarki yang membelenggu kecerdasan kaum perempuan.
R.A. Kartini: Revolusi Epistolari dan Fajar Emansipasi
Raden Adjeng Kartini adalah figur sentral dalam gerakan emansipasi perempuan Indonesia, yang perjuangannya terwujud melalui kekuatan tulisan. Lahir dari kalangan bangsawan priyayi Jawa, ia mendapatkan sebuah paradoks: akses istimewa terhadap pendidikan Belanda (ELS) yang membuka wawasannya, namun kemudian harus tunduk pada tradisi pingitan (pengasingan) yang mengurungnya di dalam tembok rumah sejak usia 12 tahun.
Dalam keterasingannya, surat-menyurat menjadi satu-satunya medium perlawanannya. Korespondensinya dengan sahabat-sahabatnya di Belanda, seperti Stella Zeehandelaar, menjadi wadah di mana ia menuangkan pemikiran-pemikiran tajam dan progresif. Dalam surat-suratnya, Kartini tidak hanya mengeluhkan nasib pribadinya, tetapi juga mengartikulasikan kritik yang mendalam terhadap praktik poligami, perkawinan paksa, dan terutama, minimnya akses pendidikan bagi perempuan pribumi. Ia secara cerdas menghubungkan isu-isu patriarki ini dengan stagnasi dan keterbelakangan bangsanya di bawah cengkeraman kolonialisme. Kumpulan suratnya yang diterbitkan secara anumerta oleh J.H. Abendanon pada tahun 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) menjadi teks fundamental yang menginspirasi gerakan feminis dan nasionalis di seluruh Hindia Belanda. Tanggal kelahirannya, 21 April, kini diperingati sebagai Hari Kartini, sebuah hari besar nasional untuk mengenang perjuangannya.
Dewi Sartika: Melembagakan Pendidikan Perempuan
Jika Kartini berjuang melalui gagasan, Dewi Sartika mewujudkan gagasan tersebut ke dalam sebuah institusi nyata. Sejak kecil, ia telah menunjukkan bakat dan hasrat yang besar untuk mengajar, sering kali bermain “sekolah-sekolahan” dengan anak-anak para abdi dalem di kepatihan, menggunakan arang dan pecahan genting sebagai alat bantu belajar.
Dengan dukungan dari Bupati Bandung saat itu, R.A.A. Martanagara, Dewi Sartika secara resmi mendirikan Sakola Istri (Sekolah untuk Istri/Perempuan) pada 16 Januari 1904. Ini adalah sekolah formal pertama untuk kaum perempuan pribumi di Hindia Belanda. Sadar akan tantangan sosial yang dihadapinya, ia merancang kurikulum yang pragmatis dan strategis. Di samping pelajaran akademis seperti membaca, menulis, dan berhitung, sekolah ini juga mengajarkan keterampilan domestik seperti memasak, menjahit, dan membatik. Model ini terbukti sangat berhasil karena dianggap tidak mengancam tatanan sosial yang ada, bahkan dipandang dapat menghasilkan istri dan ibu yang lebih baik. Sekolah ini kemudian berkembang pesat, berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan) pada tahun 1910, dan cabangnya menyebar ke berbagai kota di Pasundan. Atas jasa-jasanya yang monumental, Dewi Sartika diakui sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1966.
Maria Walanda Maramis: Pendidikan untuk Pemberdayaan Sosial dan Politik
Di Minahasa, Sulawesi Utara, Maria Walanda Maramis memimpin perjuangan serupa dengan fokus yang tajam pada pemberdayaan perempuan secara holistik. Ia melihat bahwa perempuan perlu dibekali pengetahuan praktis untuk mengelola rumah tangga dan mendidik anak-anak secara efektif, yang merupakan fondasi bagi masyarakat yang kuat.
Pada 8 Juli 1917, ia mendirikan organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT). Tujuan PIKAT sangat jelas dan progresif untuk zamannya: tidak hanya mengajarkan keterampilan, tetapi juga menciptakan ruang bagi perempuan untuk bersosialisasi, bertukar pikiran, dan secara bebas mengemukakan pendapat mereka. Namun, perjuangan Maramis tidak berhenti di ranah pendidikan. Ia melangkah lebih jauh ke arena politik. Melalui lobi dan advokasi yang gigih, ia berhasil memperjuangkan hak pilih bagi perempuan dalam pemilihan anggota Minahasa Raad (Dewan Minahasa). Kemenangan politik yang bersejarah ini diraih pada tahun 1921, menjadikannya salah satu pionir hak suara perempuan di Indonesia dan secara langsung menunjukkan hubungan kausal antara pendidikan dan partisipasi politik.
Para pahlawan pendidik ini menerapkan strategi yang dapat disebut sebagai “gradualisme pragmatis”. Kurikulum mereka, yang memadukan keterampilan akademis dan domestik, berfungsi sebagai “kuda Troya” yang cerdas. Mereka membingkai pendidikan dalam kerangka yang dapat diterima oleh masyarakat patriarkal—yaitu untuk menciptakan istri dan ibu yang lebih cakap—sambil secara bersamaan menanamkan benih-benih radikal berupa literasi, pemikiran kritis, dan kemandirian ekonomi. Pendekatan ini berhasil meredam resistensi sosial dan memungkinkan sekolah-sekolah mereka untuk berdiri dan berkembang. Namun, pada hakikatnya, keterampilan inti seperti membaca, menulis, dan berorganisasi adalah alat pemberdayaan yang pada akhirnya bersifat subversif terhadap status quo patriarki. Ini adalah sebuah revolusi yang disamarkan sebagai reformasi.