Membangun Bangsa Melalui Tindakan Simbolis

Di luar pertempuran fisik dan perdebatan politik, perjuangan kemerdekaan juga membutuhkan tindakan-tindakan simbolis yang mampu membangkitkan imajinasi kolektif dan merajut identitas sebuah bangsa yang baru lahir. Dalam ranah ini, peran perempuan terbukti krusial, di mana tindakan yang berakar dari ruang domestik mampu bertransformasi menjadi pernyataan politik yang fundamental.

Fatmawati Soekarno: Merajut Identitas Bangsa

Fatmawati Soekarno, Ibu Negara pertama Republik Indonesia, memberikan kontribusi yang tak ternilai melalui sebuah tindakan yang sarat makna. Dibesarkan di Bengkulu dalam lingkungan keluarga yang agamis dan nasionalis, ia aktif di organisasi kepemudaan Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, yang menanamkan semangat perjuangan sejak dini.

Kontribusinya yang paling ikonik dan abadi adalah saat ia menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. Bendera inilah yang dikibarkan untuk pertama kalinya pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, menjadi simbol visual kelahiran sebuah negara berdaulat. Proses pembuatan bendera ini bukanlah sekadar pekerjaan jahit-menjahit biasa. Kain merah dan putih itu diperoleh dengan susah payah dari seorang pejabat Jepang. Lebih dari itu, Fatmawati menjahit bendera berukuran besar tersebut dengan menggunakan mesin jahit tangan, karena kondisi fisiknya yang sedang hamil tua putra pertamanya, Guntur, tidak memungkinkan ia menggunakan mesin jahit kaki. Detail ini menyiratkan pengorbanan pribadi dan menanamkan dimensi kemanusiaan yang mendalam pada bendera tersebut.

Peran Fatmawati tidak berhenti pada selembar bendera. Sebagai Ibu Negara, ia mendefinisikan peran baru yang sebelumnya tidak ada, memberikan dukungan moral yang tak tergoyahkan kepada Soekarno dan para pejuang lainnya. Segera setelah proklamasi, ketika situasi masih genting, ia berinisiatif mendirikan dapur umum untuk menyediakan makanan bagi ratusan pemuda yang menjaga kediaman di Pegangsaan Timur 56, sebuah tindakan nyata yang memastikan keberlangsungan perjuangan di hari-hari awal revolusi.

Tindakan Fatmawati menjahit bendera merupakan contoh luar biasa bagaimana sebuah aktivitas yang secara tradisional dianggap domestik dan “feminin” dapat diangkat menjadi sebuah pernyataan politik yang agung. Dalam jahitan tangannya, ia secara simbolis merajut tenaga kerja perempuan dan ranah domestik ke dalam kain tenun identitas nasional. Bendera itu bukan lagi sekadar objek, melainkan artefak yang dijiwai oleh pengorbanan, ketekunan, dan cinta seorang perempuan pada tanah airnya. Aksi ini secara implisit menegaskan bahwa sebuah bangsa tidak hanya dibangun di medan perang atau di meja perundingan, tetapi juga di dalam rumah, melalui kontribusi esensial kaum perempuan.