Historiografi, “Ibuisme Negara,” dan Warisan yang Diperebutkan

Proses pengabadian seorang tokoh sebagai pahlawan bukanlah sekadar pencatatan sejarah yang netral, melainkan sebuah tindakan politik yang sarat dengan muatan ideologis. Cara bangsa Indonesia mengingat, merayakan, dan bahkan melupakan para pahlawan wanitanya mengungkapkan banyak hal tentang nilai-nilai yang dianut, terutama oleh negara, pada periode waktu tertentu. Narasi kepahlawanan perempuan telah menjadi medan pertarungan di mana warisan radikal mereka sering kali dijinakkan agar sesuai dengan agenda kekuasaan.

Lensa Maskulin Historiografi Indonesia

Salah satu tantangan terbesar dalam memahami peran perempuan dalam sejarah Indonesia adalah dominasi perspektif maskulin dalam penulisan sejarah itu sendiri. Seperti yang telah disorot oleh Komnas Perempuan, terdapat ketimpangan yang sangat mencolok dalam jumlah pahlawan nasional yang diakui secara resmi: dari sekitar 200 pahlawan, hanya sekitar 15 di antaranya adalah perempuan. Angka ini bukanlah cerminan dari minimnya kontribusi perempuan, melainkan hasil dari sebuah kerangka historiografi yang secara tradisional memprioritaskan narasi perang dan politik formal—arena yang secara historis lebih banyak diakses oleh laki-laki. Akibatnya, bentuk-bentuk perjuangan lain yang banyak digeluti perempuan, seperti di bidang pendidikan, literasi, dan aktivisme sosial, sering kali dianggap sekunder dan kurang heroik.

“Ibuisme Negara”: Domestikasi Ideologis Perempuan oleh Orde Baru

Pada masa Orde Baru (1966-1998), negara secara aktif mengkonstruksi dan mempromosikan sebuah ideologi gender yang oleh cendekiawan Julia Suryakusuma disebut sebagai “Ibuisme Negara” (State Ibuism). Ideologi ini mendefinisikan peran ideal perempuan sebagai istri dan ibu yang kodratnya adalah mendukung suami, mendidik anak, dan mengabdi pada pembangunan bangsa dalam kapasitas domestik dan suportif. Paham ini dilembagakan melalui organisasi-organisasi wajib yang dikontrol negara seperti Dharma Wanita (untuk istri pegawai negeri) dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di tingkat desa, yang secara efektif memobilisasi perempuan untuk tujuan negara sambil membatasi agensi politik mereka.

Kooptasi Kartini

Dalam kerangka “Ibuisme Negara”, figur R.A. Kartini menjadi sangat sentral, namun dengan narasi yang telah disaring dan dijinakkan. Perjuangan Kartini yang sesungguhnya—kritik tajamnya terhadap feodalisme, poligami, dan kolonialisme—dipinggirkan. Sebaliknya, yang ditonjolkan adalah citra Kartini sebagai sosok perempuan anggun yang mengenakan kebaya, seorang putri bangsawan yang sopan dan terpelajar secukupnya. Peringatan Hari Kartini sering kali direduksi menjadi perayaan seremonial dengan kontes kebaya, bukan sebagai momen untuk merefleksikan gagasan-gagasan radikalnya. Dengan cara ini, Orde Baru berhasil mengkooptasi Kartini, mengubahnya dari seorang pemberontak intelektual menjadi ikon sempurna bagi “Ibuisme Negara”: seorang ibu bangsa yang terpelajar namun tetap berada dalam koridor domestik dan tidak mengancam tatanan patriarki.

Pengakuan dan Peringatan: Mata Uang, Hari Besar, dan Ruang Publik

Pengakuan resmi dari negara, seperti pencantuman gambar pahlawan pada mata uang atau penetapan hari besar nasional, adalah bentuk paling nyata dari pembuatan memori yang dikontrol oleh negara. Pemilihan tokoh-tokoh yang akan diabadikan mencerminkan siapa yang dianggap “aman” dan sesuai dengan narasi resmi.

Beberapa pahlawan wanita telah mendapat kehormatan ini. R.A. Kartini, Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, dan Cut Meutia adalah beberapa nama yang pernah atau sedang menghiasi lembaran uang Rupiah. Sementara itu, Hari Kartini pada 21 April ditetapkan sebagai hari besar nasional. Namun, perlu dicatat bahwa tokoh-tokoh dengan rekam jejak politik yang lebih “keras” dan radikal, seperti H.R. Rasuna Said atau S.K. Trimurti, cenderung kurang mendapatkan visibilitas yang sama dalam simbol-simbol kenegaraan ini.

Tabel 2: Pahlawan Wanita pada Uang Kertas Rupiah

 

Pahlawan Denominasi Uang Kertas Tahun Emisi Konteks Simbolis
R.A. Kartini Rp5 1953 Seri Tokoh dan Kebudayaan pertama oleh BI, menandakan statusnya sebagai ikon emansipasi paling awal yang diakui negara.
Rp10.000 1985 Menegaskan kembali posisinya sebagai figur sentral dalam narasi kemajuan perempuan.
Martha C. Tiahahu Rp5.000 1985 Mewakili semangat perjuangan bersenjata dari Indonesia bagian timur.
Cut Nyak Dien Rp10.000 1998 Pengakuan terhadap perjuangan gigih dari Aceh, muncul di era Reformasi yang mulai membuka narasi sejarah yang lebih beragam.
Cut Meutia Rp1.000 2016 Bagian dari seri pahlawan nasional baru, merepresentasikan keberanian pejuang perempuan dari Aceh dalam narasi modern.

Analisis terhadap politik memori ini membawa pada satu kesimpulan penting: proses pengabadian pahlawan adalah sebuah konstruksi ideologis. Peninggian citra Kartini yang telah didomestikasi di atas figur-figur lain yang lebih radikal selama era Orde Baru bukanlah sebuah kelalaian sejarah, melainkan sebuah strategi yang disengaja. Tujuannya adalah untuk mempromosikan model kewarganegaraan perempuan yang patuh, suportif, dan tidak mengancam negara yang patriarkal dan otoriter. Memori nasional, dengan demikian, bukanlah cermin pasif dari masa lalu, melainkan alat aktif yang digunakan untuk membentuk peran ideal bagi warga negara di masa kini dan masa depan.